Pemberantasan tindak pidana terorisme telah menjadi salah satu agenda nasional Indonesia sejak Bom Bali 1 yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Upaya pemberantasan ditunjukkan dengan pemidanaan terhadap pelaku teror dan terorisme lewat UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). Sejak 2002 hingga penelitian ini dilakukan, lebih dari 1300 pelaku terorisme telah diadili dan dijatuhi hukuman. Sementara itu ratusan pelaku lainnya sedang dalam proses pengadilan dan menunggu sanksi dijatuhkan. Mereka sedang dan akan diproses berdasarkan UU Terorisme yang baru disahkan pada April 2018 (UU No. 5/2018).
Penelitian ini bermaksud mengkaji pola pemidanaan kasus terorisme, untuk melihat tren, sebaran, konsistensi, dan pada akhirnya kualitas pemidanaan dalam pengadilan perkara terorisme sejak UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diberlakukan. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi para pemangku kepentingan dalam penegakan hukum terhadap terorisme. Refleksi dan evaluasi bisa mencakup apakah kualitas pemidanaan sudah konsisten dan sesuai harapan, apakah ada aspek yang perlu mendapatkan perhatian atau perbaikan, dan apakah diperlukan adanya suatu pedoman pemidanaan bagi perkara terorisme. Mahkamah Agung menjelaskan dalam penelitiannya bahwa, pola pemidanaan sangat diperlukan sebagai acuan pembuat Undang-Undang dalam membuat atau menyusun suatu pedoman pemidanaan (Litbang Mahkamah Agung, 2010). Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum, terutama 1750 hakim muda dalam memutus perkara-perkara terorisme di masa mendatang.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif bersifat deskriptif. Data utama dalam penelitian ini adalah 400 (empat ratus) putusan pengadilan negeri tindak pidana terorisme. Empat ratus putusan adalah dokumen resmi putusan tindak pidana terorisme dari tahun 2002 hingga 2018 yang bisa diperoleh. Berdasarkan beberapa keterangan otoritas yang pernah terlontar ke media pada saat penelitian ini dilakukan, maka 400 putusan yang diperoleh kurang lebih adalah 30% dari kasus terorisme yang pernah diadili.
Dari 400 kasus tersebut, diperoleh informasi mengenai demografi dan pola pemidanaan. Informasi demografi yang didapatkan adalah 1) kasus terorisme paling banyak disidangkan di Jakarta Timur, 2) rata-rata terdakwa berpendidikan menengah keatas sampai dengan perguruan tinggi, 3) mayoritas terdakwa adalah laki-laki, dengan hanya 2 orang perempuan, 4) usia rata- rata pelaku berkisar antara 20 tahun sampai dengan 45 tahun, 5) kasus terorisme naik per tahunnya. Pada tahun 2018 terdapat lebih dari 80 perkara tindak pidana terorisme. Kebanyakan pelaku tindak pidana terorisme dihukum kurang dari 59 bulan atau 6 tahun.
Berkaitan dengan pola pemidanaan, ditemukan variasi pemidanaan dalam tindak pidana terorisme. Variasi tersebut antara lain, Pertama, perbuatan meledakkan bom atau menggunakan kekerasan yang telah menimbulkan korban belum tentu diberikan sanksi pidana yang lebih berat daripada perbuatan yang belum menimbulkan korban. Kedua, belum tentu peran yang signifikan dalam suatu jaringan ataupun suatu aksi teror akan mendapat sanksi pidana yang sama atau lebih berat daripada eksekutor. Ketiga penggunaan Pasal sangat bervariatif. Sebagai contoh, seseorang yang ikut pelatihan militer dapat dikenai Pasal 6, 7, atau pun 9. Begitu pula seseorang yang melakukan fa’i dapat dikenai Pasal 11, Pasal 5 juncto 4 UU Pendanaan Terorisme, Pasal 6, 7, maupun 9. Keempat, Terdakwa yang dituntut dalam satu berkas perkara cenderung mendapatkan sanksi pidana yang sama. Kelima dalam menjatuhkan sanksi pidana, hakim cenderung memutus sesuai atau hampir sama dengan tuntutan JPU. Keenam keadaan memberatkan dan meringankan terbukti tidak memiliki korelasi yang kuat dengan pemidanaan.
Baca laporan penelitian lengkap mengenai Pola Pemidanaat Tindak Pidana Terorisme di Indonesi: